Awalnya, ada perdebatan panas di Canberra, ibukota Australia, sejumlah
pihak menuntut pelarangan pakaian yang mewakili agama tertentu
--terutama burqa juga jilbab. Namun, dibalik semua itu ada suatu moment menarik, dimana para perempuan Australia
tak sekedar angkat bicara, mereka melakukan aksi nyata untuk melawan
stigmatisasi terhadap penutup kepala yang dikenakan kaum muslimah. Seperti apa aksi yang mereka lakukan?
Mereka melakukan kampanye di media sosial yang mendorong kaum hawa lain untuk
memposting foto 'selfie hijab' mereka di dunia maya. Sebagai simbol
solidaritas. Perempuan di Negeri Kanguru, dari segala macam latar belakang agama dan
kepercayaan, mengenakan penutup kepala dan dengan bangga mengunggah foto
mereka itu ke dunia maya -- mereka bergabung dalam kampanye yang dicetuskan
pengacara sekaligus aktivis Mariam Veiszadeh.
Aksi solidaritas di Australia |
Presenter Studio 10 Jessica Rowe, komik atau komedian Meshel Laurie, dan
politisi dari Partai Buruh Julie Owens ikut bergabung dalam gerakan
Women in Solidarity with Hijabis (#WISH) -- yang juga bertujuan melawan
sentimen anti-muslim.
Grup di Facebook yang memiliki 14 ribu follower sejak pekan lalu meminta
para perempuan untuk, "menyatakan solidaritas mereka terhadap Muslim
Australia dengan memposting foto-foto diri mereka di media sosial,
mengenakan jilbab".
Pencetus kampanye, Mariam Veiszadeh menceritakan alasan mengapa aksi
solidaritas harus dilakukan. "Aku mendengar tentang beberapa kejadian
mengerikan di mana kaum muslimah dilecehkan di jalan, kereta bayi yang
dibawa seorang ibu berjilbab ditendang. Juga sejumlah teman yang
sampai-sampai takut meninggalkan rumah," kata dia kepada News.com.au.
"Setelah insiden tersebut dikabarkan ke banyak orang, responsnya sungguh luar biasa, para perempuan Australia ingin membantu." Meski demikian, sejumlah perempuan mempertanyakan, apakah gambar mereka mengenakan penutup kepala justru menyinggung umat Islam. Dijawab oleh Veiszadeh: tidak. Yang utama, apa yang mereka lakukan
bertujuan baik, bentuk solidaritas untuk muslimah. "Dan faktanya
kampanye di media sosial ini dimulai oleh seorang muslim."
Ada juga yang mengkritik bahwa kampanye itu tak akan menghasilkan
perubahan nyata. Namun, psikolog Jocelyn Brewer -- yang punya
spesialisasi soal media sosial -- menyebut, kampanye ini berbeda. "Aksi
WISH lebih pada tindakan daripada kampanye lain," kata dia. "Karena
meminta perempuan (yang mungkin bukan muslim) melakukan tindakan, bukan
sekedar membubuhkan 'Like' atau menyebarkan apa yang sudah ada."
Sebelumnya, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott
menilai burqa bersifat 'mengkonfrontasi'. Ia berharap pakaian itu tak
dikenakan."Jujur, saya berharap itu tak dipakai. Namun, kita
adalah negara dan masyarakat yang menjunjung kebebasan. Dan itu bukan
urusan pemerintah untuk menyuruh atau melarang memakai sesuatu," kata
dia.
Soal pakaian yang tertutup, Nona Veiszadeh sepenuhnya mendukung diskusi
mengenai apakah pakaian yang menutup wajah pemakainya harus dicopot jika
terkait masalah keamanan. "Bagian dari iman Islam adalah mengikuti hukum dan peraturan negara di
mana ia tinggal," kata dia. "Namun soal melarang pakaian tertentu, itu
konyol," kata dia.
Kampanye yang ia lakukan, kata Veiszadeh, juga ingin membangun pemahaman
bahwa sejatinya perempuan muslim tidak tertindas. "Muslimah mengenakan
jilbab atau apapun yang mereka kenakan, atas pilihan mereka sendiri. Dan
mengetahui ada banyak perempuan Australia yang berbagi pesan
solidaritas, adalah hal yang membesarkan hati," kata dia.
Bagaimana menurut pendapat selfier?
Sumber: news.liputan6.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar